Penulis : Rifatun Hasanah
Penulis adalah Ketua Umum KOHATI Cabang Pamekasan
Perempuan masih terus menjadi korban dari hasrat bejat yang dibungkus dalam wajah kekuasaan, profesi, bahkan spiritualitas. Terlalu kasar/contoh pemilihan kata dan diksi yang halus : Perempuan merupakan entitas yang halus, juga salah satu tempat dimana pada kakinya terdapat kemuliaan surga, namun berbanding terbalik dengan realitas hidup yang sebenarnya. Kabar pelecehan seksual dan kekerasan kian lebih sering terdengar.
Setiap hari, kabar tentang pelecehan dan kekerasan seksual terus bermunculan, mengungkap betapa sistem kita belum benar-benar berpihak pada korban, terlebih mereka yang masih di bawah umur.
Yang lebih mengerikan, pelaku bukan hanya dari kalangan kriminal jalanan—tapi juga dari kalangan profesional, orang-orang berpendidikan, bahkan mereka yang dipercaya sebagai penyembuh atau pendidik. Di Kota Malang, misalnya, seorang profesional dilaporkan telah berulang kali melakukan pelecehan seksual. Di Madura, seorang dukun melakukan tindakan tidak senonoh kepada anak perempuan di bawah umur dengan modus “pengobatan”. Di ruang akademik, tempat yang seharusnya menjadi laboratorium etika dan ilmu, predator seksual menyusup dan mengubah ruang kelas menjadi ruang kekuasaan yang melukai.
Pada 2024, gelombang kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual belum juga surut. Kini, di awal 2025, kita kembali dihadapkan pada potret kelam: kampus dijadikan panggung kejahatan, anak-anak perempuan menjadi korban hipnosis dan tipu daya, dan hukum berjalan terseok menghadapi para pelaku yang punya pengaruh dan kuasa.
Padahal, semua tindakan ini jelas merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang TPKS, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dilindungi oleh UU No. 39 Tahun 1999. Kekerasan seksual bukan hanya soal tindakan fisik, tetapi bentuk paling brutal dari perampasan kebebasan dan martabat.
Data dari DP3AP2KB Kabupaten Pamekasan mencatat, pada 2023 terdapat 61 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Meski angka ini turun pada 2024 menjadi 33 kasus, ironisnya, kasus yang melibatkan anak perempuan justru meningkat. Angka bisa menurun, tetapi trauma yang tertinggal membekas seumur hidup.
Kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia bukan isu individu, tapi krisis moral dan sistemik yang harus kita lawan bersama. Sebagai mahasiswa, kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak diam. Solidaritas adalah senjata kita. Suara kita harus bergema lebih keras dari keheningan yang menyelimuti ruang-ruang kekuasaan yang selama ini melindungi para predator.
Jika demokrasi Belanda mengajarkan kita “Vox Populi Vox Dei”—suara rakyat adalah suara Tuhan—maka suara mahasiswa pun tak kalah sucinya ketika ia membela keadilan. Karena membela korban adalah membela nurani, dan nurani adalah suara Ilahi itu sendiri.
Melalui tulisan ini, penulis mendesak langkah konkret dan tegas dari aparat penegak hukum. Hentikan budaya hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Proses hukum harus dijalankan hingga tuntas, dan para pelaku harus mendapat ganjaran setimpal.
Penulis juga menyerukan sinergi antara masyarakat, lembaga pendidikan, dan institusi negara untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak-anak. Kepada para orang tua, jangan lelah memantau, membimbing, dan menjaga anak-anak dalam kehidupan sosial mereka. Perlindungan sejati dimulai dari rumah, tapi tidak boleh berhenti di sana.
Sudah saatnya kita semua berdiri dan berkata: CUKUP !!! Kekerasan Seksual Harus Diberantas, Bukan Dinegosiasikan. (Ms)